Prof. DR. KH. Miftah Faridl
Pengantar Quran medis dari KH. Miftah Faridl ini mengupas paradigma kesehatan Islami secara mendalam, dari hakikat sakit sebagai ujian atau azab, hingga pentingnya pengobatan Ala nabi yang rasional dan sesuai syariat. Al-Qur’an dan hadis menjadi fondasi utama dalam memahami kesehatan sebagai karunia sekaligus refleksi keimanan.
Quran Cordoba - Orang sehat, pasti ingin selalu hidup sehat. Orang yang ingin hidup tidak sehat pasti orang yang sedang tidak sehat. Ketika seorang muslim duduk salat di antara dua sujud, dia selalu berdoa, antara lain minta sehat; ‘wa afini’.
Bahkan, Al-Qur’an berulang kali menyampaikan sejumlah pesan dan ajaran agar manusia hidup sehat jasmani dan rohani, selamat di dunia dan akhirat nanti. Begitu pun Rasulullah SAW memberikan sejumlah pesan dan sekaligus teladannya. Al-Qur’an juga menyebutkan beberapa contoh orang-orang kaya dan berkuasa, tetapi tidak sehat dan tidak bahagia. Juga ada orang yang tidak sehat, tidak kaya, tetapi mereka berbahagia.
Mushaf Medis yang ada di tengah-tengah Anda merupakan mushaf dan tafsir yang membantu para pembaca untuk mendapatkan ilmu yang berkaitan dengan ilmu dan resep kesehatan dari sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunah. Insya Allah bermanfaat.
Mungkin semua manusia pernah merasa sakit, dan pada umumnya manusia berusaha berobat agar penyakitnya bisa sembuh. Pengobatan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, tergantung pilihannya. Bahkan, ada pengobatan yang menyerempet syirik dan pengobatan dengan barang haram.
Bagaimana sebenarnya paradigma pengobatan menurut ajaran Islam? Bagaimana implementasi tatacara pengobatan yang sesuai dengan ajaran Rasulullah, paling tidak, pengobatan yang tidak melanggar hukum dan nilai Islam?
Sebenarnya, Al-Qur’an memiliki cara pandang tentang pengobatan yang bisa dipetakan sebagai berikut:
a. Hakikat sakit, yakni apabila salah satu anggota fisik atau psikis manusia kurang berfungsi normal.
b. Klasifikasi teologis tentang sakit, yakni terbagi menjadi dua:
(1) Sakit sebagai azab, sebagaimana yang dialami oleh Raja Namrud atau Hamurabi yang menderita sakit kepala yang sangat dahsyat karena dimasuki semacam serangga nyamuk atau lalat melalui telinganya sehingga dia berkali-kali meminta kepalanya dipukul agar cepat mati.
(2) Sakit sebagai ujian, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Ayub n selama tujuh tahun.
c. Perintah pengobatan, seperti sabda Nabi:
"Berobatlah, dan janganlah berobat dengan sesuatu yang haram."
d. Hikmah sakit, sebagai peringatan supaya insaf (tobat), sebagai ampunan dosa, dan peringatan untuk meminta maaf kepada banyak orang sebelum wafat.
Paradigma teologis pengobatan Islami mengacu pada QS Asy Syu‘ara’, 26: 80:
Artinya: “Apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku.”
Sedangkan, paradigma makroteologis kedua, mengacu pada hadis: Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda:
Artinya: “Allah tidak akan menurunkan penyakit, melainkan menurunkan obatnya juga.” (HR Bukhari, 5678)
Kandungan QS Asy-Syu‘ara’, 26: 80 di atas mengindikasikan bahwa apa pun jenis penyakitnya, diderita oleh siapa pun, menggunakan obat apa pun, dan menggunakan keahlian dokter sepiawai apa pun, mustahil suatu penyakit dapat sembuh tanpa kesembuhan dari Allah SWT.
Dari ayat ini, dirumuskanlah paradigma makroteologis, yakni paradigma: “Allah, Kausa Prima Penyembuhan” Dalam paradigma ini, terkandung sejumlah keyakinan dan nilai-nilai bahwa Allah adalah penyebab utama usaha penyembuhan.
Sedangkan, dari hadis riwayat Imam Bukhari di atas, dirumuskanlah paradigma teologis kedua, yakni, “Setiap penyakit, pasti ada obatnya.” Jika sekarang belum ditemukan obatnya, maka harus dicari dan diteliti sampai ditemukan. Ini merupakan sebuah motivasi penelitian. Cepat atau lambat, obat untuk setiap penyakit akan ditemukan. Pemerintah wajib mengerahkan semua farmakologi untuk melakukan penelitian. Paradigma sains tentang etika pengobatan mengacu pada ilmu kedokteran.
Pengobatan itu pada dasarnya harus rasional. Rasionalitas ditandai oleh sifatnya yang logis, kritis, dan analitis. Disebut logis jika memiliki kausalitas yang jelas. Disebut kritis karena dokter harus hati-hati melakukan diagnosa dan terapi. Adapun analitis karena dokter harus teliti. Tidak heran, sebelum melakukan diagnosa, dokter menyuruh tes darah, dan lain-lain secara lengkap sesuai kebutuhan.
Dalam keilmuan kedokteran, semua cara pengobatan harus ilmiah-rasional bahkan harus mengandungi aspek spiritualitas, selain harus spesifik-partikular-empirik. Tidak boleh pengobatan mengandung unsur mitos dan takhayul. Teori yang digunakan dalam pengobatan adalah kausalitas (sebab-akibat) sesuai dengan firman Allah:
“Sesungguhnya Kami telah memberi kedudukan kepadanya di bumi dan Kami telah memberikan jalan kepadanya (untuk mencapai) segala sesuatu." (QS Al-Kahf, 18: 84)
Ibnu Sina menggunakan teori kausalitas. Ada lima level kausa, yakni Kausa Material (obat); Kausa Energi (obat diminum, diinjeksi, digosok, dll.); Kausa Potensial (obat berpotensi menyembuhkan, bukan asal-asalan); Kausa Esensial (jika sembuh, mau apa?); dan Kausa Prima (Allahlah yang menyembuhkan).
Kausa itu bisa langsung kepada Kausa Prima jika terjadi pada mukjizat para nabi, sebagaimana Nabi Isa AS dapat menyembuhkan mata buta sehingga bisa kembali melihat hanya melalui Kausa Prima, atau bisa terjadi kepada para wali dengan karamahnya. Banyak waliyullah yang mengobati penyakit dengan hanya menggunakan obat ala kadarnya.