Heri Mahbub
Pelajari rahasia dan hikmah musibah menurut Al-Qur’an melalui surah Ar-Rum: 41, Asy-Syura: 30 dan lainnya. Ada pengingat untuk mengingat Allah. Kaitan dengan musibah di Aceh–Sumatera jadikan sebagai refleksi, ajakan taubat, dan perbanyak istigfar.

Quran Cordoba - Musibah adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Ada rahasia dan hikmah kenapa semua terjadi. Ada ilmu-Nya sebagian dari sunnatullah, takdir, dan pelajarannya yang luas.
Setiap orang, keluarga, bahkan sebuah bangsa akan mengalami fase sulit yang datang dalam bentuk bencana alam, kehilangan, penyakit, kegagalan, hingga berbagai guncangan jiwa.
Pada dasarnya, Islam tidak pernah memandang musibah terjadi begitu saja, apalagi dianggap sebagai kebetulan. Al-Qur’an telah menjelaskan dengan tegas bahwa setiap musibah memiliki sebab, hikmah, dan rahasia Ilahi bagi manusia.
Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum, 30: 41)
Tiga ayat yang paling kuat menjelaskan hubungan manusia dengan musibah adalah surat Ar-Rum ayat 41 diatas, lalu QS. Asy-Syura: 30 dan QS. An-Nisa: 79, ketiganya memberikan fondasi pemahaman bahwa musibah bukan semata hukuman, tetapi juga panggilan pengingat untuk kembali kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30)
Ayat ini membawa pesan yang sangat dalam. Allah menegaskan bahwa apa pun musibah yang menimpa manusia bukan tanpa sebab. Tindakan manusia—baik dosa pribadi, kelalaian sosial, maupun kerusakan yang mereka lakukan di bumi—memiliki konsekuensi.
Kerusakan di hutan, pegunungan, tanah perkotaan, buang sampah sembarangan sehingga terjadi banjir, longsor dan lainnya, menjadi pengingat bagi manusia untuk menjaga alam sekitarnya.
Namun ayat itu juga menunjukkan sifat kasih sayang Allah: Allah memaafkan sebagian besar kesalahan manusia, sehingga musibah yang datang sebenarnya hanyalah sebagian kecil dari balasan yang seharusnya.
Allah juga menegaskan rahasia musibah dalam ayat yang lain:
“Kebajikan apa pun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu (Muhammad) menjadi Rasul kepada (seluruh) manusia. Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi”. (QS. An-Nisa,4: 79)
Ini adalah suatu adab dan selalu berprasangka yang baik, bahwa “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.”
Ayat ini memberikan keseimbangan teologis:
Semua nikmat datang dari Allah, sementara bencana datang akibat ulah manusia — baik kesalahan pribadi maupun kerusakan yang dilakukan oleh masyarakat secara kolektif.
Dengan ayat ini, Al-Qur’an mengajak kita adab terbaik untuk introspeksi, bukan menyalahkan takdir.
Islam tidak memandang musibah sebagai bentuk kebencian Allah SWT kepada hamba-Nya. Sebaliknya, musibah sering kali menjadi:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, atau penyakit, atau kehawatiran, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Artinya, setiap rasa sakit, kehilangan, dan kesulitan—walaupun kecil—memiliki nilai spiritual besar jika dijalani dengan sabar dan ridha.
Musibah yang menimpa saudara-saudara kita di Sumatera dan Aceh, baik berupa banjir bandang, longsor, hingga kerusakan lingkungan, sering kali membawa duka mendalam. Namun bagi seorang mukmin, setiap peristiwa mengandung pesan.
Musibah di Aceh misalnya—yang pernah menerima bencana tsunami dahsyat tahun 2004—menjadi saksi bahwa kehidupan bisa berubah dalam hitungan detik. Kejadian-kejadian baru yang terjadi saat ini di wilayah Sumatera dan Aceh juga menunjukkan bahwa:
Kita tidak boleh gegabah menyimpulkan bahwa sebuah musibah pasti karena dosa tertentu, karena ini adalah hal ghaib, ada rahasianya. Namun Al-Qur’an telah mengajarkan bahwa musibah adalah momen refleksi besar, baik bagi yang terkena langsung maupun bagi seluruh bangsa.
Al-Qur’an mengajarkan solusi yang lembut namun sangat kuat: istighfar. Allah berfirman dalam surat Nuh ayat 10-12:
10. maka aku berkata (kepada mereka), “Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun,
11. niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu,
12. dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu.”
Hujan yang lebat seharusnya menjadi turunnya rahmat Allah SWT, bukan menjadi musibah yang menjadi kerusakan, maka pengingatnya kembali memperbanyak istigfar dengan terus melakukan perbaikan, pelestarian, dan menjaga lingkungan alam sekitar.
“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu… niscaya Dia akan mengirimi kalian hujan yang lebat dan memperbanyak harta serta anak-anak.” (QS. Nuh: 10–12)
Istighfar bukan hanya ibadah lisani, tetapi bentuk kesadaran bahwa:
Dengan istighfar dan taubat, Allah menjanjikan:
1. Mengembalikan hati kepada Allah
Musibah membuat manusia sadar bahwa mereka bukan penguasa kehidupan. Kita kembali mengingat doa, zikir, dan tawakal.
2. Menguatkan solidaritas sosial
Setiap bencana di Aceh dan Sumatera 2025 harus menunjukkan karakter bangsa Indonesia: gotong royong, empati, saling membantu.
3. Menata kembali hubungan manusia dengan alam
Banyak musibah terjadi karena ulah manusia merusak alam. Memelihara bumi adalah bagian dari amanah kekhalifahan.
Rahasia musibah adalah bagian dari rencana Allah yang penuh hikmah. Baik menurut surat Ar-Rum:41, Asy-Syura:30 maupun An-Nisa:79, musibah bukanlah sekadar azab tapi pengingat, panggilan untuk introspeksi, taubat, dan melakukan perubahan.
Hikmah bencana di Sumatera dan Aceh mengingatkan kita bahwa manusia harus kembali memelihara hubungan dengan Allah, dengan diri sendiri, dan dengan alam secara baik.
Dengan sabar, tawakal, dan istighfar yang terus dilakukan, insyaAllah setiap musibah akan berubah menjadi pelajaran, jalan menuju keberkahan dan kemuliaan di dunia dan akhirat. Aamiin

