Heri Mahbub
Memaknai Tahun Baru 2026, Islam mengajarkan refleksi dan amal saleh. Artikel ini mengulas inspirasi Qurani di awal tahun dengan menyembuhkan hati, menjauhi hura-hura, dan memulihkan negeri melalui iman, kepedulian sosial, serta nilai-nilai Islam yang menenangkan jiwa dan menguatkan bangsa.

Quran Cordoba - Pergantian Tahun Baru Masehi 2026 kembali hadir di tengah kondisi bangsa yang belum sepenuhnya pulih. Bencana alam masih terjadi di berbagai daerah, krisis kemanusiaan menguji empati sosial, dan kegelisahan batin banyak orang belum menemukan muaranya.
Di saat yang sama, gemerlap perayaan tahun baru—dengan pesta, konser, petasan, dan hura-hura—menjadi pemandangan malam yang lazim, termasuk di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Momentum pergantian tahun sejatinya bukan sekadar soal hitungan kalender. Ia adalah ruang refleksi, saat yang tepat untuk bertanya: ke mana arah hidup pribadi, dan ke mana arah negeri ini akan dibawa?
Dalam perspektif Islam, inilah waktu yang tepat untuk menyembuhkan hati dan memulihkan negeri, bukan dengan euforia sesaat, melainkan dengan kesadaran, ilmu, dan amal saleh yang menenangkan jiwa serta menguatkan solidaritas sosial.
Islam menempatkan ilmu sebagai fondasi utama setiap amal. Seorang muslim tidak dibenarkan bertindak hanya karena dorongan kebiasaan atau tekanan sosial. Fenomena ikut-ikutan merayakan tahun baru dengan aktivitas yang sia-sia, bahkan bermuatan maksiat, merupakan bentuk tindakan tanpa ilmu yang telah diperingatkan secara tegas dalam Al-Qur’an.
Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.”
(QS. Al-Isra [17]: 36)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap pilihan hidup seorang muslim akan dimintai pertanggungjawaban.
Imam Al-Maraghi menjelaskan bahwa larangan ini mencakup seluruh bentuk ucapan dan perbuatan yang tidak memiliki dasar kebenaran, baik secara akal maupun syariat. Maka, menyambut tahun baru semestinya dilakukan dengan kesadaran nilai, bukan sekadar mengikuti arus mayoritas.
Dalam hadis, Rasulullah SAW memperingatkan agar umat Islam tidak menjadi pribadi yang imma’ah—orang yang kehilangan prinsip dan hanya mengikuti keadaan. Seorang muslim dituntut memiliki pendirian, terlebih di tengah kondisi bangsa yang sedang diuji oleh berbagai musibah.
“Janganlah kalian menjadi orang yang suka ikut-ikutan, yang berkata, “Jika orang-orang baik, maka kami juga akan berbuat baik. Dan jika mereka berbuat zalim, maka kami juga akan berbuat zalim.” Akan tetapi mantapkanlah hati kalian...” (HR: Tirmidzi).
Menyembuhkan hati berarti membersihkan diri dari sikap lalai, rakus, dan individualistis. Sementara memulihkan negeri dimulai dari kesadaran kolektif untuk memperkuat empati, kepedulian, dan tanggung jawab sosial.
Tahun baru 2026 seharusnya menjadi titik balik menuju kedewasaan inspirasi Qurani aspek spiritual dan sosial.
Tradisi perayaan tahun baru yang sarat hura-hura bukanlah bagian dari ajaran Islam. Secara historis, budaya ini lahir dari peradaban non-Islam dan kemudian menyebar ke negeri-negeri muslim melalui arus globalisasi budaya.
Allah SWT mengingatkan:
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian orang-orang yang diberi Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman.”
(QS. Ali Imran [3]: 100)
Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud, Hasan)
Para ulama menjelaskan bahwa tasyabbuh yang dilarang adalah meniru sesuatu yang menjadi ciri khas agama atau keyakinan tertentu. Oleh karena itu, seorang muslim dituntut cerdas membedakan antara budaya umum yang netral dan simbol perayaan yang bertentangan dengan nilai tauhid dan kesederhanaan.
Perayaan tahun baru kerap menghabiskan biaya besar hanya untuk kesenangan sesaat. Islam memandang pemborosan sebagai perbuatan tercela, bahkan disandingkan dengan perilaku setan.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra [17]: 27)
Al-Baidhawi menjelaskan bahwa pemborosan mencakup dua hal: menggunakan harta untuk sesuatu yang tidak semestinya, dan membelanjakannya secara berlebihan. Dalam kondisi bangsa yang masih dilanda musibah, menghamburkan harta untuk pesta pora jelas bertentangan dengan semangat kepedulian sosial dan keadilan.
Aktivitas malam tahun baru sering kali memicu bahaya: perang petasan, balapan liar, konvoi, alkohol hingga keributan yang mengganggu ketertiban umum. Islam secara tegas melarang tindakan yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Allah SWT berfirman:
“Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah [2]: 195)
Ayat ini menjadi landasan penting bahwa keselamatan jiwa adalah prioritas utama. Menjaga diri dan orang lain dari bahaya adalah bentuk ibadah dan tanggung jawab moral.
Salah satu ciri orang beriman adalah kemampuannya meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Allah SWT menegaskan:
“Sungguh beruntung orang-orang mukmin, [yaitu] orang yang khusyu dalam shalatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 1–3)
Rasulullah SAW bersabda:
“Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.”
(HR. Tirmidzi)
Malam pergantian tahun adalah waktu yang sangat tepat untuk membuktikan kualitas iman: apakah diisi dengan kesia-siaan, atau dengan amal yang menenangkan hati.
Di tengah penderitaan saudara-saudara kita yang terdampak bencana di Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan daerah lainnya, mengisi malam tahun baru dengan ibadah dan kepedulian sosial menjadi pilihan yang paling bermakna.
Bukan untuk mengistimewakan malam tersebut secara khusus, tetapi sebagai bentuk pembeda diri dari budaya lalai dan pesta pora. Rasulullah SAW mencontohkan keutamaan ibadah di saat manusia lengah, sebagaimana sabdanya tentang bulan Sya’ban: “Itu adalah bulan yang dilupakan manusia.” (HR. An-Nasa’i)
Maka, menyambut tahun baru 2026 dapat diisi dengan:

Baca Terkait: Produktif di Tahun Baru 2025, Tips Cerdas Berbasis Nilai-Nilai Al-Quran
Tahun Baru 2026 adalah undangan untuk berbenah, bukan untuk berfoya-foya. Sembuhkan hati dengan iman, pulihkan negeri dengan kepedulian. Dari pribadi yang sadar nilai, akan lahir masyarakat yang kuat, dan dari masyarakat yang peduli, akan tumbuh bangsa yang bermartabat dan penuh solidaritas.
Wallahu a‘lam bish-shawab.

