Heri Mahbub
Bencana dalam Islam bukan sekadar musibah, tetapi ujian dan tanda kasih sayang Allah. Artikel ini mengulas makna bencana menurut Al-Qur’an dan Hadis, dari musibah hingga balā’, serta pesan spiritual di baliknya.

Quran Cordoba - Bencana adalah salah satu realitas kehidupan yang paling mengguncang rasa aman manusia. Ia datang tanpa aba-aba, sering kali tiba-tiba, menyapu harapan, harta, bahkan nyawa. Gempa bumi, banjir, longsor, wabah, hingga kerusuhan sosial—semuanya meninggalkan luka mendalam, bukan hanya secara fisik, tetapi juga batin.
Namun dalam Islam, bencana bukan sekadar peristiwa alam atau tragedi kemanusiaan. Ia adalah bagian dari sunnatullah, sebuah fakta kehidupan yang terjadi dengan pengetahuan dan izin Allah SWT. Pertanyaannya bukan hanya “mengapa bencana terjadi?”, tetapi lebih dalam dari itu: bagaimana manusia memaknai dan menyikapinya?
Dalam kehidupan beragama, terdapat dua cara pandang ekstrem yang sering muncul ketika musibah melanda.
Sebagian melihat bencana semata sebagai takdir yang harus diterima tanpa ikhtiar. Sebagian lain memandangnya hanya sebagai akibat ulah manusia dan kerusakan lingkungan, tanpa mengaitkannya dengan dimensi ilahiah atau kehendak Allah.
Islam justru menghadirkan jalan tengah: bencana terjadi dengan ilmu Allah, baik melalui sebab alamiah maupun melalui perbuatan manusia. Cara seseorang memahami bencana akan sangat menentukan sikapnya—apakah ia larut dalam keputusasaan, atau bangkit dengan kesadaran dan ketakwaan.
Karena itulah, memahami makna bencana secara utuh menjadi penting. Bukan untuk mencari kambing hitam, tetapi untuk menemukan hikmah dan arah perbaikan.
Secara etimologis, kata bencana (disaster) merujuk pada peristiwa yang menyebabkan kematian, kerusakan, dan penderitaan yang meluas serta berkepanjangan.
Dalam bahasa Arab, bencana dikenal dengan beberapa istilah, di antaranya:
Dalam bahasa Indonesia, bencana dimaknai sebagai peristiwa yang menimbulkan kesusahan, kerugian, penderitaan, atau kecelakaan besar.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai:
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan masyarakat, baik disebabkan faktor alam, non-alam, maupun manusia, yang mengakibatkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Sementara menurut aturan internasional, bencana adalah gangguan serius terhadap fungsi masyarakat yang melampaui kemampuan komunitas tersebut untuk mengatasinya dengan sumber daya yang dimiliki.
Al-Qur’an mengajarkan bahwa setiap peristiwa besar di alam semesta bukanlah kebetulan. Allah SWT berfirman:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segenap penjuru bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar.”
(QS. Fuṣṣilat [41]: 53)
Dalam Al-Qur’an dan Hadis, istilah bencana tidak hadir dalam satu kata tunggal. Ia muncul dalam beragam istilah, masing-masing dengan penekanan makna yang berbeda sesuai konteksnya.
Kata muṣībah berasal dari akar kata aṣāba, yang berarti sesuatu yang menimpa. Dalam Al-Qur’an, muṣībah bersifat netral—ia bisa berupa kebaikan maupun keburukan.
Allah SWT berfirman:
“Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab sebelum Kami menciptakannya…” (QS. al-Ḥadīd [57]: 22)
Ayat ini menegaskan bahwa segala yang menimpa manusia berada dalam ketetapan Allah, agar manusia tidak larut dalam kesedihan ketika kehilangan, dan tidak pula sombong saat mendapatkan nikmat.
Berbeda dengan Al-Qur’an, dalam bahasa Indonesia kata musibah hampir selalu dipahami sebagai sesuatu yang buruk. Padahal dalam perspektif Islam, segala kejadian—baik atau buruk—adalah musibah dalam arti “sesuatu yang menimpa manusia”, dan semuanya mengandung pelajaran.
Istilah penting lainnya adalah balā’. Dalam pandangan umum, balā’ sering dipahami sebagai cobaan yang menyakitkan. Namun Al-Qur’an justru memperluas maknanya.
Allah SWT berfirman:
“Kami uji mereka dengan kebaikan dan keburukan agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. al-A‘rāf [7]: 168)
Ayat ini menunjukkan bahwa nikmat dan bencana sama-sama ujian. Keduanya berfungsi untuk mengembalikan manusia kepada Allah.
Balā’ bukan tanda kebencian Allah. Justru, dalam banyak kasus, ia adalah tanda cinta dan perhatian-Nya, agar manusia tidak jauh tersesat dalam kelalaian.
Baca Juga: Rahasia Musibah dan Hikmahnya: Pelajaran dari Bencana Sumatera–Aceh 2025
Balā’ tidak hanya menimpa orang durhaka, tetapi juga orang-orang saleh. Yang membedakan adalah cara menyikapinya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya besarnya pahala sebanding dengan besarnya ujian. Jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Barang siapa ridha, maka baginya ridha Allah.”(HR. at-Tirmidzi)
Bencana, dengan demikian, adalah cermin kedewasaan iman. Ia menyingkap apakah manusia bersabar, bertawakal, dan berbenah—atau justru berkeluh kesah dan menjauh dari Allah.
Dalam Islam, bencana bukan akhir dari segalanya. Ia adalah panggilan kesadaran, ajakan untuk kembali kepada Allah, memperbaiki hubungan dengan sesama, dan menjaga alam ciptaan-Nya.
Ketika bencana datang, Islam tidak mengajarkan menyalahkan takdir, tetapi menerima untuk keridaan Allah, lalu merenungi diri:
Karena pada akhirnya, bencana bukan sekadar tentang kehancuran, melainkan tentang peluang untuk kembali pulang—kepada Tuhan Yang Maha Pengasih.
Wallahu'alam
Sumber: Fiqih Kebencanaan, Majelis Tarjih Muhammadiyah; 2018

.jpeg)