Heri Mahbub
Jejak Nabi Ibrahim dan Ismail adalah kisah pengorbanan, cinta keluarga yang tak lekang oleh waktu. Ini 5 pelajaran ayah dan anak dari keluarga terbaik, bahwa membentuk keturunan yang shaleh bukan tugas instan, tetapi perlu proses panjang dan keteladanan.
Quran Cordoba - Pelajaran Nabi Ibrahim AS dan putranya, Ismail AS, dalam peristiwa pengorbanan merupakan salah satu kisah paling menyentuh dan penuh hikmah dalam sejarah kenabian. Tidak hanya menegaskan tentang ketaatan dan keteladanan, kisah ini juga sarat akan pelajaran penting dalam membangun keluarga yang saleh, harmonis, juga taat berlandaskan keimanan.
Gelar nabi Ibrahim, sangat banyak sebutannya di Al-Quran, seperti Kholilullah kekasih Allah, Ummah atau satu umat, Abikum bapak para Nabi, Uswatun hasanah teladan yang baik, dan lainnya.
Berikut ini 5 pelajaran utama yang bisa kita petik dari kisah keteladanan dengan putranya, Ismail:
Jejak Nabi Ibrahim adalah sosok hamba yang sangat dekat dengan Allah. Ia disebut sebagai khalilullah (kekasih Allah) dalam Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 125.
Artinya: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan(-Nya).”
Ketika ia dianugerahi seorang anak di usia lanjut, ia telah matang secara spiritual dan tangguh dalam ujian iman. Maka tak heran jika anaknya, Ismail, tumbuh menjadi anak yang patuh, sabar, dan taat kepada Allah. Dalam QS. Ash-Shaffat: 100, Ibrahim berdoa:
Artinya: "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.”
Ayat ini menunjukkan bahwa mendidik anak bukan hanya urusan teknis, tetapi dimulai dari diri orangtua sendiri. Seorang ayah dan ibu yang saleh secara otomatis menciptakan suasana rumah yang penuh berkah dan nilai-nilai Islam yang kuat.
Salah satu pelajaran penting dari Nabi Ibrahim adalah bagaimana beliau mencita-citakan anak yang saleh bahkan sebelum anak itu lahir. Tidak hanya berharap, ia berdoa secara sungguh-sungguh, sebagaimana disebut dalam QS. Ibrahim: 40
"Ya Tuhanku, jadikanlah aku orang yang tetap mendirikan salat, dan (jadikanlah pula) anak cucuku (demikian pula). Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.”
Doa bukan hanya harapan, tetapi juga cerminan dari keimanan dan keyakinan akan peran Allah dalam membentuk keturunan yang berkualitas. Doa Nabi Ibrahim contoh kesungguhan dalam mendidik keluarganya.
“Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan, 25: 74)
Saat Ibrahim menyampaikan perintah Allah untuk menyembelih Ismail, respons sang anak sangat luar biasa. Dalam QS. Ash-Shaffat: 102, Ismail berkata:
Artinya: “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”
Sikap ini tidak datang secara tiba-tiba. Ia tumbuh dalam rumah tangga yang penuh cinta, bimbingan, dan contoh nyata ketaatan dari ayah dan ibunya. Ini menjadi pelajaran penting bahwa ketaatan sejati anak hanya lahir dari lingkungan keluarga yang konsisten menanamkan nilai-nilai Islam dengan kasih sayang dan akhlak mulia.
Memiliki anak bukan sekadar kebanggaan duniawi, namun bersama-sama untuk membentuk generasi yang taat kepada Allah, mewujudkan keturunan terbaik dalam beribadah. Dalam Islam, anak adalah amanah dan potensi investasi akhirat.
Nabi Ibrahim dan Ismail teladan terkait hal tersebut, seperti di surat Al-Baqarah ayat 127,
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Dalam hadis riwayat Muslim disebutkan:
Artinya: "Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.”
Dari sinilah kita belajar bahwa perjuangan mendidik anak tidak boleh berhenti hanya di bangku sekolah atau sukses karier. Kita perlu memastikan bahwa mereka tumbuh sebagai insan yang sadar akan tanggung jawab spiritualnya.
Momentum kurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, tetapi juga menyembelih ego, keakuan, dan keterikatan dunia yang berlebihan. Dalam konteks keluarga, ini adalah saat yang tepat untuk menanamkan nilai keikhlasan, tawakal, dan ketaatan pada anak-anak. Cinta keluarga harus dalam bingkai cinta kepada Allah dan Ibadah.
Sebagaimana Nabi Ibrahim dan Ismail yang rela menjalani perintah Allah meski sangat berat, demikian pula kita sekeluarga harus belajar untuk menomorsatukan perintah Allah dalam setiap aspek kehidupan. Kurban menjadi momen refleksi bersama: sejauh mana kita siap berkorban, bahkan dalam lingkup terkecil: keluarga sendiri.
BACA JUGA: 3 Keluarga Teladan dalam Al-Quran, Siapakah Mereka?
Kesimpulan: Jejak Pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail
Pelajaran Nabi Ibrahim dan Ismail adalah kisah cinta, iman, dan pengorbanan keluarga yang tak lekang oleh waktu. Dari keduanya kita belajar bahwa membentuk keluarga shaleh bukan tugas instan, tetapi proses panjang yang dimulai uswah hasanah.
Artinya: “Sungguh telah ada untuk kalian teladan yang baik dalam diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya.” (QS Al-Mumtahanah, 60: 4)
Pujian Allah untuk Ibrahim ini tentu saja setelah ia berusaha menjadi sosok pribadi yang dicintai oleh Allah. Pertanyaannya sekarang: siapakah di antara kita yang sejak awal menjadi orangtua berusaha untuk belajar dan berusaha menjadi orangtua yang shaleh?
Doa, keteladanan, kesabaran, komunikasi spiritual antar keluarga, dan pengorbanan menjadi fondasi kuat dalam mendidik generasi penerus yang kokoh iman dan akhlaknya. Keturunan yang shaleh berasal dari keshalehan orang tuanya.
Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang mampu meneladani Ibrahim dan Ismail, serta menjadi keluarga yang diberkahi di dunia dan akhirat. Aamiin.
Wallahu'alam bishawab
Bacaan Terkait: Sejarah Qurban dari Masa Nabi Ibrahim Sampai Nabi Muhammad Saw
Bacaan Terkait: 8 Keutamaan Berkurban: Berbuat Baik dalam Segala Hal, Termasuk Menyembelih Hewan