Heri Mahbub
Fiqih ekologi dalam Islam menurut Ulama mengajarkan bahwa merawat lingkungan adalah bagian dari iman. Memahami hubungan manusia, bumi, dan amanah Allah dalam alam di fiqih lingkungan. Penting untuk pelajaran di zaman sekarang.

Quran Cordoba - Di tengah krisis lingkungan global—banjir yang datang lebih sering, tanah yang kehilangan kesuburannya, sungai yang berubah warna, dan udara yang semakin berat dihirup—Islam sesungguhnya telah lama menawarkan cara pandang yang jernih dan penuh kasih terhadap alam.
Cara pandang itu hari ini menurut Ulama istilahnya bernama fiqih ekologi, sebuah pemahaman bahwa relasi manusia dengan lingkungan bukan sekadar urusan teknis, melainkan persoalan iman, amanah, dan tanggung jawab moral.
Dalam sebuah pengajian tafsir Surah al-Mulk, KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) mengajak kita merenung dengan satu pertanyaan sederhana, namun menghentak kesadaran: “Masa kamu hidup di bumi tenang-tenang saja, padahal bumi bisa tamur—bergejolak, menggeliat, dan berbalik?”
"Sudah merasa amankah kamu dari Zat yang di langit, yaitu [dari bencana] dibenamkannya bumi oleh-Nya bersama kamu ketika tiba-tiba ia terguncang?" (QS. Al-Mulk, 67: 16}
Pertanyaan itu bukan ancaman, melainkan teguran lembut. Al-Qur’an tidak pernah menempatkan bumi sebagai objek mati yang bebas dieksploitasi. Bumi adalah amanah, tempat hidup sekaligus ruang ujian bagi manusia.
Salah satu kekeliruan cara berpikir modern adalah memisahkan urusan ibadah ritual dengan urusan lingkungan. Masjid dianggap suci, sementara sungai, hutan, dan tanah diperlakukan semata-mata sebagai sumber daya ekonomi. Eksploitasi sewenang-wenang. Padahal dalam Islam, kesadaran ritual dan ekologis berjalan dalam satu napas tauhid.
Al-Qur’an menyebut bumi dengan istilah al-ardh, yang secara etimologis mengandung makna “rendah” dan “tunduk”. Ia memberi tanpa meminta, menopang kehidupan tanpa mengeluh. Dari sinilah lahir kesadaran fiqih ekologi: bahwa setiap tindakan manusia terhadap alam akan dimintai pertanggungjawaban.
Allah sendiri “membanggakan” perbuatan-Nya dengan menumbuhkan tanaman, memecah tanah, mengalirkan air, dan memberi makan manusia serta hewan. Maka, jika Allah memuliakan proses menumbuhkan, bagaimana mungkin manusia justru merasa bangga ketika merusak?
"Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan." (QS. Al-Mulk, 67: 15)
Dalam Al-Qur’an, kerusakan lingkungan tidak pernah dilepaskan dari kerusakan akhlak. Allah berfirman:
"Atau, sudah merasa amankah kamu dari Zat yang menguasai langit, yaitu (dari bencana) dikirimkannya badai batu oleh-Nya kepadamu? Kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku." (QS. Al-Mulk, 67: 17)
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali.” (QS. ar-Rum: 41)
Ayat ini menjadi fondasi penting dalam fiqih lingkungan Islam. Bencana bukan semata fenomena alam, tetapi sering kali berkaitan dengan keserakahan, ketidakadilan, dan hilangnya etika manusia dalam mengelola bumi. Dalam bahasa Al-Qur’an, tindakan semacam ini disebut fasād—segala perbuatan yang merusak keseimbangan, baik secara sosial maupun ekologis.
Islam memandang bahwa krisis lingkungan adalah cermin krisis spiritual. Ketika manusia lupa bahwa bumi bukan miliknya, melainkan titipan, maka eksploitasi menjadi tak terkendali.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Jika Kiamat terjadi sementara di tangan salah seorang dari kalian ada benih tanaman, maka jika ia mampu menanamnya, maka tanamlah.” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Hadis ini bukan sekadar anjuran bercocok tanam, tetapi pesan eksistensial. Menanam adalah simbol harapan, bahkan ketika dunia terasa akan berakhir. Dalam fiqih ekologi, menanam pohon bukan hanya tindakan ekologis, melainkan amal jariyah dan ekspresi iman terhadap masa depan.
Satu pohon yang ditanam hari ini mungkin tidak kita nikmati hasilnya, tetapi ia bisa menjadi sumber kehidupan bagi generasi setelah kita. Di sinilah Islam mengajarkan etika lintas generasi: bumi bukan warisan dari leluhur, melainkan pinjaman dari anak cucu.
Menariknya, bahkan dalam kondisi perang—situasi paling ekstrem dalam sejarah manusia—Islam tetap menjaga etika lingkungan. Rasulullah ﷺ melarang menebang pohon, merusak tanaman, dan menghancurkan sumber air. Artinya, dalam kondisi genting sekalipun, alam tetap harus dilindungi.
Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, kerusakan lingkungan adalah dosa moral. Kejahatan manusia terhadap sesama tidak boleh diperluas menjadi kejahatan terhadap bumi. Semuanya untuk kebaikan dan masa depan manusia sendiri.
"Katakanlah (Nabi Muhammad), “Terangkanlah kepadaku jika (sumber) air kamu surut ke dalam tanah, siapa yang akan memberimu air yang mengalir?”
Ulama dan para sufi sejak lama memandang alam sebagai ayat kauniyah, tanda-tanda kebesaran Allah yang harus dibaca dan direnungi, bukan dieksploitasi. Ada yang membaca ayat dengan mata, ada yang membacanya dengan hati, dan ada pula yang membacanya melalui pepohonan, sungai, dan gunung.
Gempa mengajarkan kerendahan hati, hujan mengajarkan rahmat, hutan mengajarkan kesabaran, dan sungai mengajarkan ketekunan. Dalam perspektif ini, fiqih ekologi bukan disiplin baru, melainkan kelanjutan dari pesan Al-Qur’an tentang bagaimana manusia seharusnya hidup di bumi.
Fiqih ekologi mengajak umat Islam untuk memperluas makna ibadah. Menjaga air tetap bersih, mengurangi limbah, menanam pohon, dan melindungi makhluk hidup adalah bagian dari ketaatan kepada Allah.
Sebagaimana firman-Nya:
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi [tanah] dan memerintahkanmu untuk memakmurkannya, Oleh karena itu, mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya.” (QS. Hud: 61)
Memakmurkan bumi bukan berarti mengurasnya, tetapi merawatnya. Sebab pada akhirnya, cara kita memperlakukan bumi adalah cerminan bagaimana kita memahami amanah Tuhan. Merawat lingkungan berarti menjaga kehidupan, dan menjaga kehidupan adalah inti dari ajaran Islam itu sendiri. Wallhu'alam
Sumber: Parafrase dari Buletin ENTAS
Baca Juga: Bencana dalam Perspektif Al-Quran: Antara Takdir, Ujian, dan Kembali kepada Allah
Baca Juga: Memaknai Bencana dalam Perspektif Al-Quran, Bagian 2: Relasi Sosial, Kerusakan, dan Kebinasaan

.jpeg)