Heri Mahbub
Berikut lanjutan artikel memaknai bencana (Bagian II) yang terintegrasi dengan istilah dalam perspektif Quran, setelah makna musibah dan bala', kini menyentuh dimensi reflektif dalam memaknai bencana menurut Al-Qur’an.
.jpeg)
Quran Cordoba — Selain istilah musibah dan balā’, Al-Qur’an juga menggunakan sejumlah istilah lain untuk menggambarkan peristiwa yang berdampak destruktif bagi kehidupan manusia. Istilah-istilah ini memperlihatkan bahwa bencana tidak selalu berkaitan dengan fenomena alam semata, tetapi juga erat hubungannya dengan relasi sosial, kerusakan moral, dan perilaku manusia sendiri.
Para ulama menegaskan bahwa memahami ragam istilah kebencanaan dalam Al-Qur’an penting agar umat Islam tidak menyederhanakan bencana hanya sebagai “hukuman”, melainkan sebagai cermin relasi manusia dengan Allah, sesama, dan alam.
Maka ada istilah bencana kemanusiaan, fitnah besar dan lainnya. Inilah 4 istilah lainnya terkait kebencanaan:
Istilah fitnah (الفتنة) berasal dari akar kata fa-ta-na, yang secara bahasa bermakna cobaan, ujian, dan pengujian. Dalam penggunaan sehari-hari di Indonesia, kata fitnah sering dipahami sebagai tuduhan palsu atau pencemaran nama baik. Namun, dalam Al-Qur’an, makna fitnah jauh lebih luas dan mendalam.
Al-Qur’an menggunakan kata fitnah untuk menggambarkan berbagai kondisi, di antaranya:
Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pastimengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.”(QS. al-‘Ankabūt [29]: 3)
Berbeda dengan bencana alam, fitnah lebih merujuk pada bencana sosial—peristiwa yang muncul dari hubungan manusia dengan manusia lainnya. Konflik, provokasi, kebencian, kekerasan, hingga kerusuhan sosial merupakan bentuk fitnah yang menimbulkan ketakutan, kesesatan, dan kehancuran sosial.
Dalam konteks ini, fitnah menjadi pengingat bahwa kerusakan sosial sering kali lebih berbahaya daripada bencana alam, karena menghancurkan rasa aman, persatuan, dan nilai kemanusiaan.
Baca Juga: Bencana dalam Perspektif Al-Quran: Antara Takdir, Ujian, dan Tobat
Istilah penting lainnya adalah fasād. Kata ini berasal dari fa-sa-da, yang dalam Lisān al-‘Arab diartikan sebagai lawan dari shalāh (kebaikan dan kedamaian). Dengan demikian, fasād bermakna kerusakan, keburukan, dan kekacauan.
Dalam Al-Qur’an, kata fasād disebutkan berulang kali, di antaranya dalam QS. al-Baqarah [2]: 30 dan 205, al-Rūm [30]: 41, al-Māidah [5]: 32, serta ayat-ayat lainnya. Semua ayat tersebut menunjukkan perilaku manusia yang menimbulkan kerusakan, baik kerusakan sosial maupun kerusakan alam.
Allah SWT berfirman:
“Danapabila dia berpaling, dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi, sertamerusak tanam-tanaman dan ternak, sedang Allah tidak menyukai kerusakan.” [QS. al-Baqarah [2]: 205]
Dalam ayat lainnya surat ar-Rum ayat 41 cukup popular, yang artinya;
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”(QS. al-Rūm [30]: 41)
Ayat ini menegaskan bahwa fasād tidak berdiri sendiri. Ia merupakan konsekuensi dari keserakahan, kesombongan, pembangkangan terhadap perintah Allah, serta pengabaian terhadap keseimbangan alam.
Dalam konteks kebencanaan, fasād mengajarkan bahwa tidak semua bencana bisa dilepaskan dari tanggung jawab manusia, terutama ketika eksploitasi alam dan ketidakadilan sosial terus berlangsung.
Berbeda dengan fasād yang sering dikaitkan dengan perbuatan manusia, istilah halāk dalam Al-Qur’an lebih banyak merujuk pada tindakan Allah dalam membinasakan suatu kaum atau individu. Secara bahasa, halāk berarti mati, binasa, dan musnah.
Kata ini muncul dalam beberapa ayat, di antaranya QS. al-Nisā’ [4]: 176, al-Anfāl [8]: 42, Ghāfir [40]: 34, dan al-Qaṣaṣ [28]: 78.
Allah SWT berfirman tentang Qarun:
“Apakah dia tidak mengetahui bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta?” (QS. al-Qaṣaṣ [28]: 78)
Halāk menunjukkan bahwa kekuatan, kekayaan, dan kekuasaan tidak menjamin keselamatan jika manusia melampaui batas dan menolak kebenaran. Kebinasaan dalam konteks ini menjadi peringatan keras bagi umat manusia.
Rasulullah SAW juga mengingatkan tentang sebab kebinasaan suatu umat dalam hadisnya:
“Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kalian adalah apabila orang terpandang mencuri, mereka dibiarkan. Namun jika orang lemah mencuri, hukum ditegakkan.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa ketidakadilan hukum dan moral dapat menjadi sebab kehancuran sebuah peradaban.
Istilah terakhir yang berkaitan dengan bencana adalah tadmīr, yang berarti kehancuran total. Inilah hukuman yang sering dikaitkan dengan azab dan kebinasaan dalam Al-Qur’an.
Allah SWT berfirman:
“Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (untuk taat), tetapi mereka durhaka, maka Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. al-Isrā’ [17]: 16)
Dalam QS. al-Aḥqāf [46]: 24–25, Allah menggambarkan kehancuran kaum ‘Ād yang disangka hujan, padahal azab yang memusnahkan mereka.
Tadmīr menggambarkan kehancuran besar yang terjadi karena kegagalan manusia membaca tanda-tanda kekuasaan Allah, serta kesalahan dalam memperhitungkan risiko dari perbuatan mereka sendiri.
Artinya: “yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, sehingga mereka(kaum ‘Ad) menjadi tidak tampak lagi (di bumi) kecuali hanya (bekas-bekas)tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yangberdosa.” [QS. al-Aḥqāf [46]: 25]
Baca Juga: Rahasia Musibah dan Hikmahnya: Pelajaran dari Bencana Sumatera–Aceh 2025
Dari istilah fitnah, fasād, halāk, hingga tadmīr, Al-Qur’an menegaskan bahwa bencana tidak berdiri tunggal sebagai peristiwa alam. Ia adalah cermin relasi manusia—dengan Allah, dengan sesama, dan dengan alam.
Islam tidak mengajarkan umatnya untuk sekadar bertanya “mengapa bencana terjadi?”, tetapi mendorong pertanyaan yang lebih mendalam: apa yang harus diperbaiki setelah bencana ini?
Dengan cara pandang ini, bencana menjadi momentum kesadaran kolektif, penguatan solidaritas, dan jalan kembali menuju kehidupan yang lebih adil, seimbang, dan bertakwa.
Wallahu'alam
Sumber: Fiqih Kebencanaan, Majelis Tarjih Muhammadiyah; 2018

.jpeg)